Thanks for visiting :)

Kamis, 22 Oktober 2015

"Pit, tahu alodita gak?"
"Iya, aku suka baca blognya"
"Iya gak nyangka yaa, dibalik "keliatannya" sempurna, tapi ternyata divonis gak bisa hamil secara natural"
"Iya, kasian, padahal banyak banget orang lain yang nunda punya anak bahkan buang buang anak"
"Yaa gabisa gitu juga dong pit, gak boleh menghakimi orang kayak gitu"

JLEB!

Obrolan ini terjadi lebih dari setengah tahun lalu, waktu saya masih kerja ke kantor tiap hari, ngobrol sama temen kerja tentang blogger cantik Alodita, waktu itu kalau tidak salah, dia baru share soal perjuangannya jadi IVT survivor di IG. Iya, obrolan yang bikin saya ketampar karena saya sering sekali secara tidak sadar menghakimi orang, yang bahkan saya tidak tahu kondisi sebenarnya seperti apa. Hanya sebatas lihat luarannya saja. Saat itu saya langsung mikir "iyaa yaa, toh orang yang menunda kehamilan atau yang "buang" anak pun, mungkin punya alasan kuat yang tidak saya tahu dan pahami, tapi bukan berarti saya berhak menghakimi bahwa mereka jahat atau embel embel lainnya. Saya toh bukan Tuhan yang bisa menentukan pahala dan dosa manusia juga.

Pagi ini, di salah satu postingan path teman kuliah saya, ada video seorang istri yang "curhat" tentang kondisi poligami yang dia alami. Saya sebenarnya lihat video tersebut sambil lalu saja, karena sebelumnya saya sudah lihat di newsfeed facebook, jadi saya anggap itu video viral biasa aja, cuma issuenya aja poligami. Then, selang beberapa jam sahabat saya chat menanyakan tentang sudah tahu belum tentang video tsb, dan dia mengirimkan link instagram yang terlibat di issue tersebut. Dua duanya perempuan cantik dan masih muda, gemas sekali melihatnya. Lalu, saya agak reaktif pas tahu suaminya kayak gimana, zzzz. Lalu kemudian saya terhempas ke obrolan yang dulu tentang jangan menghakimi orang. Sahabat saya pun bilang "pengen sih share di path tapi issuenya sangat sensitif". Iyaa poligami, ah itu sensitif sekali, menyangkut perasaan dan ilmu yang tidak saya kuasai. Terlebih kami berdua tidak tahu asal muasal alasan dibalik tindakan yang melakukan poligami itu :D

Tapi apapun issue-nya, saya rasanya happy sekali mengenal banyak orang - orang baik yang selalu mengingatkan saya pada hal baik juga. Mengingatkan saya untuk membuka mata lebih lebar, melihat tidak hanya dari sudut pandang orang kebanyakan tapi melihat celah sudut kecil yang tidak terlihat orang.

Yuk ah, sama sama belajar lebih positif dan tidak lagi jadi orang yang bisa menghamiki orang lain.

Anyway, selamat siang!




Selasa, 20 Oktober 2015

Gimana nanti atau nanti gimana?

Penting gak sih ngatur keuangan dari sekarang, kenapa gak nikmatin aja dulu apa yang ada sekarang, nanti nanti sih urusan belakangan, toh rezeki pasti ada aja kok? 

Kalau kamu, tipe yang mana?

Saya dulu adalah tipe yang gimana nanti ajalah, gaji satu bulan yaa dihabiskan untuk bulan itu, ga ada tabungan! Sampai mau nikah, baru deh kalang kabut karena ga punya simpenan yang mumpuni buat bisa bantu orang tua biayain pernikahan. *self toyor*

Oke, balik lagi ke topik. Saya sempet baca buku bagus dari Aditya Mulya judulnya Sabtu Pagi Bersama Bapak. Buku yang isinya nyeritain wejangan - wejangan alm, bapaknya untuk mengarungi bahtera rumah tangga *ah tsedap!. Buku ini bagus. BANGET! Kadang nyentil saya di sana sini karena beneran gak well prepared banget, salah satunya soal ngurusin keuangan. Emang sih dulu gaji saya kayaknya emang cukup buat hidup aja di Jakarta, tapi kalo liat banyak yang gajinya lebih kecil dan bisa nabung, kok saya jadi mikir kalo yang salah yaa saya, hehehe.

Sekarang, setelah menikah dan punya anak, saya dan suami sepakat untuk WAJIB membagikan penghasilan kami ke banyak pos - pos bulanan. Biasanya kami membaginya di amplop, untuk belanja bulanan, belanja harian, bayar listrik, internet dan TV kabel, sedekah, kasih ibu mertua (maklum masih nebeng di pondok mertua indah) dan ada standar minimal tiap bulan yang harus kita sisihkan untuk ditabung. 

Kenapa sih sama si tabungan kok kayaknya saya peduli sekali? Iya, soalnya saya harus terus ingetin diri saya sendiri untuk nabung, karena saya dan suami jujur saja blank soal urusan investasi. Jadi, satu satunya cara untuk menyimpan uang untuk keperluan masa depan atau keperluan tak terduga yaa cuma nabung. Mau investasi, pake reksadana? Kalo yang konservatif keuntungannya ga seberapa, mau yang menjanjikan harus pake cara agresif di reksadana saham yang kami berdua ga ngerti walo nanti ada MI yang bisa mengurusi, tapi rasanya kalau kami berdua ga punya basic knowledgenya pun ga berani ah. Hahaha. Mau sisihkan uang untuk asuransi, duh ini sih saya udah khatam ribetnya klaim dan tetek bengek lainnya (beberapa temen pun menyarankan untuk ga usah ikut asuransi). Ada lagi yang rekomendasikan untuk investasi di emas, nah kalo yang ini, kita pertimbangkan sih, selain karena bisa dipakai, juga bisa untuk keperluan dana darurat, karena cepat bisa dikonversikan lagi jadi uangnya gapake proses klaim dll.

Anywaaayyy, seberapa penting tabungan setelah menikah? 

Saya yakin sekali, banyak orang yang sudah mapan dan tidak perlu lagi memikirkan urusan nabung, karena perputaran uang dan kondisi finansialnya sudah sangat stabil. Tapi buat saya, yang dibesarkan oleh orang tua yang rata - rata, tidak berlebih dan tidak kurang, menjadi wajib untuk mikir tentang masa depan, terutama masa depan anak - anak saya nantinya. Inflasi yang pasti ga terbendung bikin saya dan suami suka mikir untuk gimana caranya buat ngimbangin si inflasi ini pas anak anak kuliah. Ah tapi gak usah sejauh itu, semisal sekarang baru 2,5 tahun menikah, pasti kepingin sekali punya aset sendiri, bukan pemberian orang tua, seperti rumah, kendaraan, alat elektronik/ furniture rumah, itu hanya bisa dibeli kalau kita punya kasnya dong. Atau pengen liburan keluarga rutin tiap tahun? Bisa dong kalau ada kasnya juga. Contoh lain, seperti kondisi tidak terduga kayak yang saya alami, Rasyid, anak pertama kami, ternyata punya hipospadi (atau kalau istilah orang jaman dulu, udah disunat dari lahir, padahal itu adalah saluran kencing berada di atas atau di bawah yang seharusnya), selama ini tidak ada masalah dengan hipospadinya, hanya dokter merekomendasikan untuk dioperasi karena khawatir akan mudah infeksi. Jadi, sebagai orang tua, kami pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak. Dan operasi di bagian kelamin tentu tidak murah. Dan Alhamdulillah karena setidaknya ada tabungan, biaya untuk operasi tidak perlu dikhawatirkan, walopun setelahnya harus ngulang nabung lagi karena akan langsung abis, hahahaha, sekarang sih tinggal siapin mental aja kapan mau bawa anaknya ke RS :D

Yaaa gitu deh, saya menulis ini untuk reminder buat diri saya kalau ada prioritas yang harus saya dan suami capai sesuai buku target kami. Dan kadang kala, saya sering sekali gak hirau kalau target kami masih jauh tapi suka susah banget buat "maksain" diri sendiri nabung. 

Jadi, ditantang suami buat nabung lebih banyak tiap bulan?

Challenge Accepted! *pasang sabuk*